Pengertian, Makna dan Hakikat Muhasabah

Diposting oleh Mutiarahikmah on Selasa, 18 September 2012


Muhasabah*)
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiapb diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. [Q.S.Al-Hasyr (59):18]
Pengertian Muhasabah
Muhasabah berasal dari kata hasibah yang artinya menghisab atau menghitung.Dalam penggunaan katanya, muhasabah diidentikan dengan menilai diri sendiri atau mengevaluasi, atau introspeksi diri.
Dari firman Allah di atas tersirat suatu perintah untuk senantiasa melakukan muhasabah supaya hari esok akan lebih baik.
Urgensi Muhasabah
Hari berganti hari, demikian juga dengan bulan dan tahun. Kalau kita memperhatian pergantian waktu ini, sesungguhnya kehidupan dunia makin lama makin menjauh sedang pada kesempatan yang sama kehidupan akhirat makin mendekat.
Kita perhatikan keadaan di lingkungan tempat kita kerja dan di tengah keluarga, apakah masih tetap ? Secara jujur kita harus jawab tidak, kemana mereka? Sebagian karena sudah meninggal, Apakah yang meninggal hanya mereka? Jawabnya tentu tidak. Kitapun pasti akan meninggal.
Firman Allah dalam Al Qur’an :
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati “ (Q. S. Ali Imran. 3:185), kemudian sesudah mati kita akan dihidupkan kembali, sebagaimana firman-Nya :
”Sesungguhnya kamu akn dibangkitkan sesudah mati “ (Q. S. Huud, 11 : 7) Untuk apa ? Untuk mempertanggung jawabkan semua amal perbuatan kita, baik yang burhubungan dengan ibadah maupun amaliah.
Maka dalam melakukan muhasabah, seorang muslim menilai dirinya, apakah dirinya lebih banyak berbuat baik ataukah lebih banyak berbuat kesalahan dalam kehidupan sehari-harinya. Dia mesti objektif melakukan penilaiannya dengan menggunakan Al Qur’an dan Sunnah sebagai dasar penilaiannya bukan berdasarkan keinginan diri sendiri.
Oleh karena itu melakukan muhasabah atau introspeksi diri merupakan hal yang sangat penting untuk menilai apakah alal perbuatannya sudah sesuai dengan ketentuan Allah. Tanpa introspeksi, jiwa manusia tidak akan menjadi baik.
1 Imam Turmudzi meriwayatkan ungkapan Umar bin Khattab dan juga Maimun bin Mihran mengenai urgensi muhasabah.
Umar r.a. mengemukakan:
“Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab, dan berhiaslah (bersiaplah) kalian untuk akhirat (yaumul hisab).
Al Hasan mengatakan : orang-orang mumin selalu mengevaluasi dirinya karena Allah. Dan bahwasanya hisab itu akan menjadi ringan pada hari kiamat bagi orang yang menghisab (evaluasi) dirinya di dunia”.
Maimun bin Mihran r.a. menyampaikan:
“Seorang hamba tidak dikatakan bertakwa hingga ia menghisab dirinya sebagaimana dihisab pengikutnya dari mana makanan dan pakaiannya”.
Urgensi lain dari muhasabah adalah karena setiap orang kelak pada hari akhir akan datang menghadap Allah SWT. sendiri-sendiri untuk mempertanggung jawabkan segala amal perbuatannya. Firman Allah:
“Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri.”
[QS. Maryam (19): 95]
Aspek-aspek yang perlu dimuhasabahi
Firman Allah:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” [QS. Adz-Dzaariyaat (51): 56]
Berdasarkan ayat di atas, maka yang harus dimuhasabahi meliputi seluruh aspek kehidupan kita, baik yang berhubungan dengan Allah (ubudiyah) maupun hubungan dengan sesama manusia (muamalah) yang mengandung nilai ibadah.
Aspek-aspek tersebut diantaranya adalah:
1. Aspek Ibadah yang berhubungan dengan Allah
Dalam pelaksanaan ibadah ini harus sesuai dengan ketentuan dalam Al-Quran dan Rosul-Nya. Dalam hal ini Rasulluh SAW telah bersabda : “Apabila ada sesuatu urusan duniamu, maka kamu lebih mengetahui. Dan apabila ada urusan agamamu, maka rujuklah kepadaku “. (HR. Ahmad).
2. Aspek Pekerjaan & Perolehan Rizki
Aspek ke dua ini sering dilupakan bahkan ditinggalkan dan ditakpedulikan. Karena aspek ini diangggap semata-mata urusan duniawi yang tidak memberikan pengaruh pada aspek ukhrawinya.
2 Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. bersabda:
‘Tidak akan bergerak telapak kaki ibnu Adam pada hari kiamat, hingga ia ditanya tentang 5 perkara; umurnya untuk apa dihabiskannya, masa mudanya kemana dipergunakannya, hartanya darimana ia memperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, dan ilmunya sejauh mana pengamalannya.’(HR. Turmudzi)
3. Aspek Kehidupan Sosial
Aspek kehidupan sosial dalam artian hubungan muamalah, akhlak dan adab dengansesama manusia. Karena kenyataannya aspek ini juga sangat penting sebagaimana yang digambarkan Rasulullah saw. dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. bersabda: ‘Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut itu ?’
Sahabat menjawab:
“Orang yang bangkrut diantara kami adalah orang yang tidak memiliki dirham dan tidak memiliki perhiasan.”
Rasulullah saw. bersabda:
‘Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan (pahala) shalat, puasa dan zakat, namun ia juga datang dengan membawa (dosa), menuduh, mencela, memakan harta orang lain, memukul (mengintimidasi) orang lain.
Maka orang-orang tersebut diberikan pahala kebaikan-kebaikan dirinya. Hingga manakala pahala kebaikannya telah habis, sebelum tertunaikan kewajibannya, diambillah dosa-dosa mereka dan dicampakkan pada dirinya, lalu dia pun dicampakkan ke dalam api neraka. (HR. Muslim)
Apabila melalaikan aspek ini, maka pada akhir khayatnya orang akan membawa pahala amal ibadah yang begitu banyak, namun bersamaan dengan itu, ia juga membawa dosa yang terkait dengan interaksinya yang negatif terhadap orang lain.
Jadi, muhasabah dapat diraih dengan melakukan hal-hal berikut:
1. Melakukan perbandingan sehingga menjadi terlihat kelalaian yang selama ini belum disadari.
2. Memikirkan kelemahan yang ada dalam diri.
3. Hendaknya ditanamkan dalam diri rasa takut kepada Allah SWT
4. Menanamkan ke dalam dirinya perasaan bahwa dirinya selalu diawasi oleh Allah dan bahwa Allah melihat semua yang tersembunyi dalam dirinya, karena sesungguhnya tiada sesuatu pun yang tersembunyi dari pengetahuan Allah.
Seperti yang tersirat dalam firman-Nya:
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya”
[QS. Qaaf (50):16]
3 Bagaimana cara yang mudah untuk bermuhasabah :
Setelah selesai shalat Isya, atau sebelum tidur, melakukan evaluasi perilaku atau perbuatan yang telah dijalani, mulai dari pagi sampai dengan sore hari.
1. Mulailah dengan hal-hal yang berkaitan dengan rukun islam dan rukun iman.
2. Kemudian mengingat hal-hal yang berkaitan dengan sesama manusia seperti
orang tua kita, istri, suami, anak, saudara, tetangga, teman di tempat kerja dll.
3. Akuilah kegagalan-kegagalan dalam mengatasi ujian Allah sepanjang hari, beristigfarlah kepada Allah, bertaubatlah kepada-Nya. Semoga Allah berkenan menerima taubat kita, lalu berniatlah untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan tersebut dan tekadkan niat kita bahwa besok akan tampil lebih baik lagi.
4. Jika ternyata kita ada masalah dengan sesama manusia maka kita harus berani minta maaf dan mintalah kerelaan mereka.
Kapan seharusnya kita memulai muhasabah?
Pengalaman menunjukkan bahwa kita samasekali tidak tahu kapan, dimana sedang apa seseorang menemui kematiannya, karena itu sudah semestinya kita lakukan sejak sekarang. Dan barangsiapa yang melakukan introspeksi diri hari ini, niscaya dia akan memperoleh keamanan hari esoknya
Apa gunanya muhasabah yang singkat ini ?
Manfaat dari muhasabah ini adalah jika Allah takdirkan kita meninggal malam itu maka kita akan menghadap kehadirat-Nya dalam keadaan telah bertaubat. Akan tetapi jika kita ditakdirkan bisa menghirup udara segar pada esok harinya, maka kita akan mendapatkan manfaat yang antara lain, yaitu:
1.
2. Kita akan selalu berusaha untuk menghindari kesalahan
Atau, apabila kita terjerumus kembali dalam kesalahan kemudian kita bertaubat kembali, demikian seterusnya hingga kita akan merasa malu terhadap Allah setelah berkali-kali bertaubat.
Menurut Khalid bin abdul Aziz Al-Jubair (2007) banyak orang yang bisa meninggalkan kebiasaan buruknya melalui cara ini. Mudah2an kita juga bisa melakukannya.
Selain itu, menurut Albasyah (2005) untuk memelihara “kesadaran” agar tetap tinggi, kita perlu mencoba langkah berikut ini dengan konsisten, yaitu:
Setiap akan meninggalkan rumah, kita coba merenung sejenak untuk:
1. Bertekad dengan segenap kesungguhan hati akan mengontrol nafsu dan akan bertindak sesuai dengan “aturan main” Allah, baik pada jalur hablum minallah maupun pada jalur hablum minanas,
2. Menyadari (mengantisipasi) bahwa sepanjang hari ini akan menghadapi ujian-ujian Allah, seperti: bergunjing, berprasangka buruk, dengki, malas shalat, ataupun diperlakukan tidak baik.
InsyaAllah kita semua merupakan orang-orang yang bertakwa, yang dalam menempuh hidup ini memiliki visi yaitu untuk mendapatkan ridha Illahi, sehingga bisa melakukan muhasabah.
4 Imam Hasan Al-Bashri berkata:
“Seorang mukmin adalah panglima untuk dirinya sendiri, ia mengatur dan menginspeksi dirinya sendiri karena mengharapkan keridhaan Allah SWT”.
Oleh karena itu, sudah selayaknya bagi seorang hamba untuk bersikap objektif terhadap dirinya sendiri.
Jika dia melihat dirinya melakukan kekeliruan, hendaknyalah dia menanggulanginya dengan cara meninggalkannya, melakukan taubat yang bersih, dan berpaling dari semua hal yang menyebabkan dia melakukan kesalahan tersebut.
Jika setiap individu bisa memperbaiki diri, insya Allah akan tercipta keluarga, masyarakat, institusi, negara yang baik pula.
Rasulullah SAW membagi manusia dalam 3 golongan:
1. Golongan beruntung, jika hari ini lebih baik dari hari kemarin.
2. Golongan merugi, jika hari ini sama dengan hari kemarin.
3. Golongan celaka, jika hari ini lebih buruk daripada hari kemarin.
Semoga hari demi hari yang kita lewati bersama-sama ini,
menjadi awal menuju perbaikan diri.
Aamiin
========================
MAKNA MUHASABAH
Dari Syadad bin Aus r.a., dari Rasulullah saw., bahwa beliau berkata, "Orang
yang pandai adalah yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri serta beramal
untuk kehidupan sesudah kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah yang
dirinya mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah swt. (HR.
Imam Turmudzi, ia berkata, "Hadits ini adalah hadits hasan")
Gambaran Umum Hadits
Hadits di atas menggambarkan urgensi muhasabah (evaluasi diri) dalam menjalani
kehidupan di dunia ini. Karena hidup di dunia merupakan rangkaian dari sebuah
planing dan misi besar seorang hamba, yaitu menggapai keridhaan Rab-nya. Dan
dalam menjalankan misi tersebut, seseorang tentunya harus memiliki visi (ghayah),
perencanaan (ahdaf), strategi (takhtith), pelaksanaan (tatbiq)
dan evaluasi (muhasabah). Hal terakhir merupakan pembahasan utama yang
dijelaskan oleh Rasulullah saw. dalam hadits ini. Bahkan dengan jelas,
Rasulullah mengaitkan evaluasi dengan kesuksesan, sedangkan kegagalan dengan
mengikuti hawa nafsu dan banyak angan.
Indikasi Kesuksesan dan Kegagalan
Hadits di atas dibuka Rasulullah dengan sabdanya, "Orang yang pandai
(sukses) adalah yang mengevaluasi dirinya serta beramal untuk kehidupan setelah
kematiannya." Ungkapan sederhana ini sungguh menggambarkan sebuah visi yang
harus dimiliki seorang muslim. Sebuah visi yang membentang bahkan menembus
dimensi kehidupan dunia, yaitu visi hingga kehidupan setelah kematian.
Seorang muslim tidak seharusnya hanya berwawasan sempit dan terbatas,
sekedar pemenuhan keinginan untuk jangka waktu sesaat. Namun lebih dari itu,
seorang muslim harus memiliki visi dan planing untuk kehidupannya yang lebih
kekal abadi. Karena orang sukses adalah yang mampu mengatur keinginan
singkatnya demi keinginan jangka panjangnya. Orang bertakwa adalah yang "rela"
mengorbankan keinginan duniawinya, demi tujuan yang lebih mulia, "kebahagian
kehidupan ukhrawi."
Dalam Al-Qur"an, Allah swt. seringkali mengingatkan hamba-hamba-Nya mengenai
visi besar ini, di antaranya adalah dalam QS. Al-Hasyr (59): 18-19.
Muhasabah atau evaluasi atas visi inilah yang digambarkan oleh Rasulullah
saw. sebagai kunci pertama dari kesuksesan. Selain itu, Rasulullah saw. juga
menjelaskan kunci kesuksesan yang kedua, yaitu action after evaluation.
Artinya setelah evaluasi harus ada aksi perbaikan. Dan hal ini diisyaratkan
oleh Rasulullah saw. dengan sabdanya dalam hadits di atas dengan "dan beramal
untuk kehidupan sesudah kematian." Potongan hadits yang terakhir ini
diungkapkan Rasulullah saw. langsung setelah penjelasan tentang muhasabah.
Karena muhasabah juga tidak akan berarti apa-apa tanpa adanya tindak lanjut
atau perbaikan.
Terdapat hal menarik yang terrirat dari hadits di atas, khususnya dalam
penjelasan Rasulullah saw. mengenai kesuksesan. Orang yang pandai senantiasa
evaluasi terhadap amalnya, serta beramal untuk kehidupan jangka panjangnya
yaitu kehidupan akhirat. Dan evaluasi tersebut dilakukan untuk kepentingan
dirinya, dalam rangka peningkatan kepribadiannya sendiri.
Sementara kebalikannya, yaitu kegagalan. Disebut oleh Rasulullah saw, dengan
"orang yang lemah", memiliki dua ciri mendasar yaitu orang yang mengikuti hawa
nafsunya, membiarkan hidupnya tidak memiliki visi, tidak memiliki planing,
tidak ada action dari planingnya, terlebih-lebih memuhasabahi perjalanan
hidupnya. Sedangkan yang kedua adalah memiliki banyak angan-angan dan khayalan,
"berangan-angan terhadap Allah." Maksudnya, adalah sebagaimana dikemukakan oleh
Imam Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi, sebagai berikut: Dia (orang yang
lemah), bersamaan dengan lemahnya ketaatannya kepada Allah dan selalu mengikuti
hawa nafsunya, tidak pernah meminta ampunan kepada Allah, bahkan selalu
berangan-angan bahwa Allah akan mengampuni dosa-dosanya.
Urgensi Muhasabah
Imam Turmudzi setelah meriwayatkan hadits di atas, juga meriwayatkan
ungkapan Umar bin Khattab dan juga ungkapan Maimun bin Mihran mengenai urgensi
dari muhasabah.
1. Mengenai muhasabah, Umar r.a. mengemukakan:
"Hisablah (evaluasilah) diri kalian sebelum kalian dihisab, dan berhiaslah
(bersiaplah) kalian untuk hari aradh akbar (yaumul hisab). Dan bahwasanya hisab
itu akan menjadi ringan pada hari kiamat bagi orang yang menghisab (evaluasi)
dirinya di dunia.
Sebagai sahabat yang dikenal "kritis" dan visioner, Umar memahami benar
urgensi dari evaluasi ini. Pada kalimat terakhir pada ungkapan di atas, Umar
mengatakan bahwa orang yang biasa mengevaluasi dirinya akan meringankan
hisabnya di yaumul akhir kelak. Umar paham bahwa setiap insan akan
dihisab, maka iapun memerintahkan agar kita menghisab diri kita sebelum
mendapatkan hisab dari Allah swt.
2. Sementara Maimun bin Mihran r.a. mengatakan:
"Seorang hamba tidak dikatakan bertakwa hingga ia menghisab dirinya
sebagaimana dihisab pengikutnya dari mana makanan dan pakaiannya".
Maimun bin Mihran merupakan seorang tabiin yang cukup masyhur. Beliau wafat
pada tahun 117 H. Beliaupun sangat memahami urgensi muhasabah, sehingga beliau
mengaitkan muhasabah dengan ketakwaan. Seseorang tidak dikatakan bertakwa,
hingga menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri. Karena beliau melihat salah
satu ciri orang yang bertakwa adalah orang yang senantiasa mengevaluasi
amal-amalnya. Dan orang yang bertakwa, pastilah memiliki visi, yaitu untuk
mendapatkan ridha Ilahi.
3. Urgensi lain dari muhasabah adalah karena setiap orang kelak pada hari
akhir akan datang menghadap Allah swt. dengan kondisi sendiri-sendiri untuk
mempertanggung jawabkan segala amal perbuatannya. Allah swt. menjelaskan dalam
Al-Qur"an: "Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat
dengan sendiri-sendiri." [QS. Maryam (19): 95, Al-Anbiya" (21): 1].
Aspek-Aspek Yang Perlu Dimuhasabahi
Terdapat beberapa aspek yang perlu dimuhasabahi oleh setiap muslim, agar ia
menjadi orang yang pandai dan sukses.
1.Aspek Ibadah
Pertama kali yang harus dievaluasi setiap muslim adalah aspek ibadah. Karena
ibadah merupakan tujuan utama diciptakannya manusia di muka bumi ini. [QS.
Adz-Dzaariyaat (51): 56]
2. Aspek Pekerjaan & Perolehan Rizki
Aspek kedua ini sering kali dianggap remeh, atau bahkan ditinggalkan dan
ditakpedulikan oleh kebanyakan kaum muslimin. Karena sebagian menganggap bahwa
aspek ini adalah urusan duniawi yang tidak memberikan pengaruh pada aspek
ukhrawinya. Sementara dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. bersabda:
Dari Ibnu Mas"ud ra dari Nabi Muhammad saw. bahwa beliau bersabda, "Tidak
akan bergerak tapak kaki ibnu Adam pada hari kiamat, hingga ia ditanya tentang
5 perkara; umurnya untuk apa dihabiskannya, masa mudanya, kemana
dipergunakannya, hartanya darimana ia memperolehnya dan ke mana
dibelanjakannya, dan ilmunya sejauh mana pengamalannya." (HR. Turmudzi)
3.Aspek Kehidupan Sosial Keislaman
Aspek yang tidak kalah penting untuk dievaluasi adalah aspek kehidupan
sosial, dalam artian hubungan muamalah, akhlak dan adab dengan sesama manusia.
Karena kenyataannya aspek ini juga sangat penting, sebagaimana yang digambarkan
Rasulullah saw. dalam sebuah hadits:
Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Tahukah kalian
siapakah orang yang bangkrut itu?" Sahabat menjawab, "Orang yang bangkrut
diantara kami adalah orang yang tidak memiliki dirham dan tidak memiliki
perhiasan." Rasulullah saw. bersabda, "Orang yang bangkrut dari umatku adalah
orang yang datang pada hari kiamat dengan (pahala) shalat, puasa dan zakat,
namun ia juga datang dengan membawa (dosa) menuduh, mencela, memakan harta
orang lain, memukul (mengintimidasi) orang lain. Maka orang-orang tersebut
diberikan pahala kebaikan-kebaikan dirinya. Hingga manakala pahala kebaikannya
telah habis, sebelum tertunaikan kewajibannya, diambillah dosa-dosa mereka dan
dicampakkan pada dirinya, lalu dia pun dicampakkan ke dalam api neraka. (HR.
Muslim)
Melalaikan aspek ini, dapat menjadi orang yang muflis sebagaimana
digambarkan Rasulullah saw. dalam hadits di atas. Datang ke akhirat dengan
membawa pahala amal ibadah yang begitu banyak, namun bersamaan dengan itu, ia
juga datang ke akhirat dengan membawa dosa yang terkait dengan interaksinya
yang negatif terhadap orang lain; mencaci, mencela, menuduh, memfitnah, memakan
harta tetangganya, mengintimidasi dsb. Sehingga pahala kebaikannya habis untuk
menutupi keburukannya. Bahkan karena kebaikannya tidak cukup untuk menutupi
keburukannya tersebut, maka dosa-dosa orang-orang yang dizaliminya tersebut
dicampakkan pada dirinya. Hingga jadilah ia tidak memiliki apa-apa, selain
hanya dosa dan dosa, akibat tidak memperhatikan aspek ini. Na"udzubillah min
dzalik.
4. Aspek Dakwah
Aspek ini sesungguhnya sangat luas untuk dibicarakan. Karena menyangkut
dakwah dalam segala aspek; sosial, politik, ekonomi, dan juga substansi dari da"wah
itu sendiri mengajak orang pada kebersihan jiwa, akhlaqul karimah, memakmurkan
masjid, menyempurnakan ibadah, mengklimakskan kepasrahan abadi pada ilahi,
banyak istighfar dan taubat dsb.
Tetapi yang cukup urgens dan sangat substansial pada evaluasi aspek dakwah
ini yang perlu dievaluasi adalah, sudah sejauh mana pihak lain baik dalam skala
fardi maupun jama"i, merasakan manisnya dan manfaat dari dakwah yang telah sekian
lama dilakukan? Jangan sampai sebuah "jamaah" dakwah kehilangan pekerjaannya
yang sangat substansial, yaitu dakwah itu sendiri.
Evaluasi pada bidang dakwah ini jika dijabarkan, juga akan menjadi lebih
luas. Seperti evaluasi dakwah dalam bidang tarbiyah dan kaderisasi, evaluasi
dakwah dalam bidang dakwah "ammah, evaluasi dakwah dalam bidang siyasi,
evaluasi dakwah dalam bidang iqtishadi, dsb?
Pada intinya, dakwah harus dievaluasi, agar harakah dakwah tidak hanya menjadi
simbol yang substansinya telah beralih pada sektor lain yang jauh dari
nilai-nilai dakwah itu sendiri. Mudah - mudahan ayat ini menjadi bahan evaluasi
bagi dakwah yang sama-sama kita lakukan: Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku,
aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah
yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik".
[QS. Yusuf (12): 108]
Pentingnya Muhasabah dalam Kehidupan Muslim
Muhasabah dalam
pengertian bahasa adalah proses menghitung-hitung. Adapun di dalam 
khazanah keislaman, muhasabah ini dimasukkan dalam usaha seorang muslim 
dalam melakukan tazkiyyatun nafs atau penyucian jiwa, sebagaimana 
isyarat pentingnya difirmankan Allah SWT:
    “Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan jiwanya dan dia ingat nama Rabbnya, lalu dia shalat.” (QS. 87:14-15)
    “… dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaan,
    sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. 91:7-10)
Muhasabah
berarti memperhitungkan amal perbuatan diri; Apabila ia mendapati 
dirinya melakukan perbuatan baik (‘amal shalih) dalam mentaati Allah 
(tha’ah), maka ia akan bersyukur kepada Allah SWT. Sebaliknya apabila ia
mendapati perbuatan dosa dan melanggar aturan Allah (ma’shiyat), maka 
ia akan menyesali perbuatan tersebut dengan memohon ampun kepada Allah 
atas kesalahannya (beristigfar) dan kembali kepadaNya (bertaubat) serta 
kemudian melakukan kompensasi kesalahan itu dengan memperbanyak 
perbuatan baik.
Muhasabah
ini dilakukan secara terus menerus dalam kehidupan seorang muslim. 
Sebagian ulama mengajarkan muhasabah harian seiring dengan amal-amal 
harian (amalan yaumiyyan) yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada 
Allah seperti shalat malam (qiyamul lail), tilawah Quran, dzikir di 
waktu pagi dan petang dll. Muhasabah ini semakin banyak dilakukan akan 
semakin baik, sebagaimana dzikir yangbanyak itu diperintahkan Allah SWT.
Hidup adalah Perniagaan dengan Allah SWT.
Untuk
merenungkan masalah muhasabah ini marilah kita mulai dengan kehidupan 
yang di dalam beberapa tempat dilambangkan sebagai perniagaan oleh Allah
SWT:
   
Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan
shalat dan menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami anugerahkan kepada
mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan 
perniagaan yang tidak akan merugi (QS. 35:29)
   
Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu 
perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (yaitu) 
Kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah 
dengan harta dan jiwamu, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu 
mengetahuinya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan 
kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan 
(memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di surga 'Adn. Itulah 
keberuntungan yang besar. (QS. 61:10-12)
   
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu'min, diri dan 
harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka … (QS. 9:111)
Sungguh
perniagaan yang ditawarkan Allah SWT ini adalah perniagaan yang amat 
menguntungkan bagi kita. Tiada lain yang dapat kita rasakan di dalam 
hati ini, kecuali bahwa Allah Maha Pemurah kepada hamba-hambaNya yang 
taat. Bagaimana tidak, semua yang ada di langit dan di bumi adalah 
milikNya termasuk diri kita. Akan tetapi karena kemurahan dan kasih 
sayangNya, segala usaha kita akan diridhaiNya dan diberiNya ganjaran 
kebahagiaan surga yang penuh kenikmatan.
Maka
kesadaran akan adanya janji perniagaan dengan Allah ini membuat kita 
senantiasa menghitung-hitung modal, keuntungan dan kerugian kehidupan 
kita. Ketika kita melakukan amal perbuatan, maka selalu diperhitungkan, 
apakah perbuatan ini memberikan keuntungan ataukah kerugian. Imam 
Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin mengumpamakan modal adalah 
kewajiban-kewajiban, keuntungan adalah amalan sunnah dan kerugian ada 
pada perbuatan-perbuatan dosa.
Penyempurnaan Kewajiban
Sebagaimana
diibaratkan Imam Ghazali, pelaksanaan kewajiban adalah modal utama 
dalam hidup. Oleh karena itu hendaknya kita tunaikan segenap kewajiban 
kita kepada Allah dengan penuh keikhlasan. Dalam hal peribadahan kita 
sempurnakan tata caranya (kaifiyat-nya) sesuai dengan tuntunan sunnah 
Nabi Muhammad SAW, sebab mengikuti contoh Nabi ini menjadi syarat 
diterimanya ibadah kita. Adapun dalam hal perbuatan baik yang sifatnya 
bukan ibadah ritual, hendaknya kita mengikuti (ittiba’) kepada Nabi 
Muhammad SAW dalam ajarannya yang utuh. Sesungguhnya sunnah Nabi ini 
akan menghantarkan kita pada akhlak mulia pada seluruh aspek kehidupan, 
sebagaimana sabdanya: ”Sesungguhnya hanyalah aku ini diutus (sebagai 
Rasul) untuk menyempurnakan akhlak mulia.”
Allah
SWT akan memberikan balasan yang baik atas amal kebaikan yang telah 
kita lakukan. Kemudian hendaknya kita memohon ampun kepadaNya atas 
segala kekurangan kita dalam menunaikan kewajiban kepada Allah.
   
… maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur'an dan dirikanlah 
shalat, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman 
yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya 
kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling 
baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah;
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 73:20)
Khawatir dengan Perbuatan Dosa
Ada
hadits shahih yang membuat kita khawatir dan berhati-hati dalam 
perhitungan ini, yaitu hadits riwayat Imam Muslim dari shahabat Abu 
Hurairah yang menyebutkan pernyataan Rasulullah SAW: “Orang-orang yang 
benar-benar bangkrut—di antara umatku—ialah  mereka yang datang di hari 
Kiamat dengan membawa (seabrek) pahala shalat, puasa, dan zakat; tapi 
mereka datang setelah (di dunia) mencaci ini, menuduh itu, memakan harta
si ini, melukai si itu, dan memukul si ini. Maka diberikanlah 
pahala-pahala kebaikan mereka kepada si ini dan si itu. Jika habis 
pahala-pahala kebaikan mereka sebelum terpenuhi apa yang menjadi 
tanggungan mereka, maka diambillah dari dosa-dosa orang-orang yang 
pernah mereka salahi dan ditimpakan kepada mereka, kemudian 
dicampakkanlah mereka ke api neraka.” Na’udzu billah min dzaalik, kita 
memohon perlindungan kepada Allah dari kebangkrutan seperti itu.
Kekhawatiran
seperti ini menjadi bagian dari muhasabah kita. Apalagi kita mengetahui
bahwa Allah SWT akan memperhitungkan semua amal perbuatan kita hingga 
sekecil apapun:
   
Pada hari itu manusia keluar dari kuburnya dalam keadaan yang 
bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan 
mereka. Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, 
niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan 
kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya 
pula. (QS. 99:6-icon
Waspada dalam Perbuatan Mubah
Selain
pada penunaian kewajiban dan pada perbuatan dosa, muhasabah juga 
diperlukan dalam memandu kita menyikapi perbuatan-perbuatan yang boleh 
kita lakukan. Dalam terminologi hukum fiqih inilah yang disebut 
perbuatan mubah. Termasuk dalam perbuatan mubah adalah menikmati suasana
bahagia di dalam rumah, makan dan minum, tidur, dan jalan-jalan 
menikmati pemandangan alam. Asal hukum perbuatan di atas adalah mubah. 
Perbuatan ini akan menjadi perbuatan berpahala ketika disertai dengan 
niat kebaikan karena Allah. Misalnya, membahagiakan keluarga dalam 
rangka memenuhi kewajiban memberi nafkah kepada mereka; Makan, minum dan
tidur agar tubuh menjadi sehat dan mampu mengerjakan amal kebaikan; 
Menikmati pemandangan alam untuk memikirkan kekuasaan dan kebaikan Allah
kepada manusia (tafakur).
Pada
perbuatan-perbuatan mubah ini tempat muhasabah adalah menjaga jangan 
sampai perbuatan-perbuatan ini dilakukan secara berlebihan.
Seorang
sahabat yang bernama Hanzalah r.a. mengisahkan tentang dirinya sebagai 
berikut. Abu Bakar r.a. telah menemui aku. Ia pun bertanya, “Bagaimana 
(keadaan iman) engkau ya Hanzalah?” Aku pun menjawab, “Hanzalah telah 
munafik.” Abu Bakar pun menyebutkan, “Subhanallah, apakah yang engkau 
katakan (ya Hanzalah)?!” Aku berkata, “Kita ketika berada di sisi 
Rasulullah SAW, beliau itu mengingatkan kita tentang surga dan neraka, 
kita seolah-olahnya melihat (surga dan neraka itu) dengan mata kepala. 
Kemudian bila kita berpisah dari Rasulullah SAW, kita pun sibuk dengan 
isteri-isteri, anak-anak dan kerja-kerja kita. Maka kita lupa semuanya 
(tidak bisa ingat akhirat seperti berada di hadapan beliau lagi).” Abu 
Bakar berkata, “Demi Allah kami pun mengalami seperti (cerita engkau) 
ini.” Mereka berdua pun menghadap Rasulullah SAW dan beliau menanggapi 
dengan mengungkapkan bahwa bisa mereka bisa mempertahankan kondisi ingat
akan akhirat seperti pada majelisnya niscaya para malaikat akan 
menyalami mereka. Akan tetapi keadaan iman manusia itu memang 
berubah-ubah dari waktu ke waktu, sambung beliau.
Pelajaran
yang ingin kita petik dari kisah di atas adalah, bagaimana para sahabat
senantiasa waspada jangan sampai perbuatan mubah mereka menyeret pada 
kelalaian mengingat Allah, apalagi sampai melakukan perbuatan dosa. 
Karenanya di antara gambaran para penghuni surga adalah:
   
Mereka berkata, "Sesungguhnya kami dahulu, sewaktu berada di 
tengah-tengah keluarga kami merasa takut (akan diazab)." Maka Allah 
memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari azab neraka. 
Sesungguhnya kami dahulu menyembah-Nya. Sesungguhnya Dia-lah yang 
melimpahkan kebaikan lagi Maha Penyayang. (QS. 52:26-2icon
Muhasabah dan Hari Hisab
Di
antara sarana bermuhasabah yang penting bagi kita adalah dengan 
mengingat yaumil hisab atau Hari Perhitungan; Yaitu hari ketika kita 
akan menerima catatan amal perbuatan kita selama hidup di dunia. Begitu 
banyak Allah SWT mengingatkan kita pada Kitab al-Quran akan hari 
pembagian rapor kehidupan ini, di antaranya:
   
Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang yang 
bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka 
berkata: "Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan 
yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; 
dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan 
Rabbmu tidak menganiaya seorang juapun". (QS. 18:49)
   
Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Rabbmu), tiada sesuatupun dari 
keadaanmu yang tersembunyi (bagi Allah). Adapun orang-orang yang 
diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia berkata: 
"Ambillah, bacalah kitabku (ini)". Sesungguhnya aku yakin, bahwa 
sesungguhnya aku akan menemui hisab terhadap diriku. Maka orang itu 
berada dalam kehidupan yang diridhai, dalam surga yang tinggi, 
buah-buahannya dekat, (kepada mereka dikatakan): "Makan dan minumlah 
dengan sedap disebabkan amal ang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang
telah lalu". (QS. 69:18-24)
   
Adapun orang-orang yang diberikan kepadanya dari sebelah kirinya, maka 
dia berkata: "Wahai alangkah baiknya kiranya tidak diberikan kepadaku 
kitabku (ini), dan aku tidak mengetahui apa hisab terhadap diriku. Wahai
kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala sesuatu. Hartaku 
sekali-kali tidak memberi manfa'at kepadaku. Telah hilang kekuasaan 
dariku." (QS. 69:25-29)
Demikianlah
Allah SWT menggambarkan penghuni neraka adalah mereka yang selama 
hidupnya lalai dari mengingat hari penghisaban amal perbuatan, 
sebagaimana ditegaskan pada firmanNya:
   
Sesungguhnya neraka jahannam itu (padanya) ada tempat pengintai lagi 
menjadi tempat kembali bagi orang-orang yang melampaui batas, mereka 
tinggal di dalamnya berabad-abad lamanya, mereka tidak merasakan 
kesejukan di dalamnya dan tidak (pula mendapat) minuman, selain air yang
mendidih dan nanah, sebagai pembalasan yang setimpal. Sesungguhya 
mereka tidak takut kepada hisab, dan mereka mendustakan ayat-ayat Kami 
dengan sungguh-sungguhnya. Dan segala sesuatu sudah Kami catat dalam 
suatu kitab. Karena itu rasakanlah. Dan kami sekali-kali tidak akan 
menambah kepada kamu selain daripada azab. (QS. 78:21-30)
Penutup
Melakukan
muhasabah pada hakikatnya adalah cara untuk menyayangi diri kita 
sendiri, agar jangan sampai mengalami kerugian tiada tara di akhirat 
nanti. Muhasabah adalah upaya mengingatkan diri secara sungguh-sungguh 
agar selalu melakukan amal kebaikan dan menghindari diri dari amal 
buruk. Karena itu para ulama yang shalih mengatakan, hari penghisaban 
itu akan Allah ringankan bagi mereka yang sering bermuhasabah di dunia. 
Dan hari penghisaban akan amat berat bagi mereka yang lalai melakukan 
muhasabah dalam hidupnya. Umar bin Khattab r.a. mengatakan, ”Hisablah 
dirimu sendiri, sebelum kelak engkau dihisab.” Ketika mendeskripsikan 
perihal orang yang cerdas, Rasulullah SAW mengatakan, ”Orang yang cerdas
adalah ialah yang mampu menundukkan hawa nafsunya (kepada kebenaran) 
dan beramal untuk (waktu) setelah kematiannya.”
Wa Allahu a’lamu bish shawwab.
Hakikat Muhasabah
Oleh : Asep Sulhadi
Muhasabah atau introspeksi diri adalah kata yang hakikatnya sering isalahpahami mayoritas orang. Mereka beranggapan introspeksi diri adalah mengingat perbuatan dosa yang telah dilakukan, dengan menyesali dan menangisinya.
Padahal, pengertian tersebut bukanlah termasuk ke dalam muhasabah. Namun itu adalah salah satu dari syarat-syarat taubatan nasuhan (taubat yang murni). Merujuk kepada hadis Rasulullah SAW tentang hakikat muhasabah, akan kita temukan yang dimaksud dengan muhasabah adalah memaksakan diri dan menundukkannya agar taat melaksanakansemua perintah Allah SWT sebagai bekal di akhirat.
Rasulullah SAW menyebut orang seperti itu dengan sebutan 'orang yang berakal'. ''Orang yang berakal adalah orang yang memaksa dirinya untuk taat kepada Allah SWT dan berbuat (mempersiapkan bekal) bagi akhirat, sedangkan orang yang lemah adalah orang yang membiarkan dirinya mengikuti hawa nafsu kemudian berangan-angan agar Allah mengampuninya.'' (HR At Tirmidzi).
Muhasabah menurut Rasulullah SAW sama artinya dengan jihad nafs atau jihad memerangi dan mengekang hawa nafsu. Rasulullah SAW dalam sabdanya yang lain menegaskan jihad nafs adalah salah satu jihad paling besar dan termasuk ke dalam hakikat seorang mujahid. ''Mujahid adalah orang yang mengekang jiwanya untuk taat kepada perintah Allah.'' (HR Ahmad).
Dari pengertian di atas, jelas bahwa hakikat muhasabah bukan mengingat dosa-dosa yang telah lalu, kemudian menyesali dan menangisinya. Namun, hakikat muhasabah adalah memaksakan diri untuk taat melaksanakan semua perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangannya.
Karenanya, Umar bin Al Khatab pernah berkata, ''Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab, karena sesungguhnya hisab pada hari kiamat adalah ringan bagi orang-orang yang menghisab dirinya di dunia.''
Maksudnya adalah tundukkanlah diri kalian agar patuh melaksanakan semua perintah Allah dan menjauhi larangannya karena dengan cara inilah hisab kalian akan ringan pada hari kiamat.
Marilah kita bergegas melaksanakan hakikat muhasabah yaitu dengan mengerjakan semua perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangannya, agar di akhirat kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang hisabnya ringan. Wallahu a'lam bish-shawab.